Barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaknya dia menanaminya atau meminta saudaranya untuk menanaminya dan janganlah dia menyewakannya dengan imbalan sepertiga dan seperempat, dan tidak juga makanan tertentu. Hanzhalah bin Qais meriwayatkannyaHadits Ibnu Majah No.2442 | Bagi hasil pertanian dengan sepertiga dan seperempat bagian
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِKita tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga tidak pernah berjumpa dengan kita, sebagai orang yang beriman kepada Rasulullah kita sangat rindu untuk berjumpa dengan beliau dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga rindu berjumpa dengan ummatnya yang datang kedatangan Dr. Zakir Naik ke Makassar membuat kita rindu untuk berjumpa bertemu langsung dengannya, lalu bagaimanakah kerinduan kita untuk berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu alaihi seorang salaf pernah ditanya”Coba sebutkan kepadaku kenikmatan surga yang paling tinggi“, beliau kemudian menyebutkan”Didalam surga ada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam”.Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah menyatakan rindunya untuk berjumpa dengan ummatnya, beliau menyatakan tersebut didepan sahabatnya, pernah suatu ketika beliau mengantar salah satu jenassah sahabat, setelah di kubur beliau mengatakan mintalah prtolongan kepada Allah dari azab kubur, mintalah prtolongan kepada Allah dari azab kubur, mintalah prtolongan kepada Allah dari azab Shallallahu alaihi wasallam kemudian mengatakan“Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan ikhwanku saudara-saudaraku. Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata“Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?”Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berkata“Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku, Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku dan mereka mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.” HR. MuslimDan bahkan orang yang datang belakangan yang tidak berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pahala yang berlipat ganda disisi Allah Subhanahu wata’ala sebanyak 50 kali lipat karena mereka beriman kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam padahal mereka belum pernah berjumpa dengan beliau, adapun para sahabat keutuamaannya merupakan pilihan Allah Subhanahu wata’ perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu”Barangsiapa yang ingin mengambil contoh dan teladan dalam hidupnya hendaknya ia menjadikan orang yang meninggal dari kalangan orang – orang sholeh sebagai contoh baginya, karena orang yang masih hidup tidak aman baginya dari fitnah, mereka adalah sahabat – sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang paling dalam ilmunya, yang paling suci hatinya, yang paling sedikit takallufnya memberat –beratkan diri serta membuat – buat perkara yang baru dalam agama yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah, mereka dipilih oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk menemani Nabinya maka ketahuilah keutamaan mereka”.Akan tetapi ummatnya yang datang belakangan pun mendapatkan keutamaan khusus, para sahabat melihat bagaimana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam kemudian melihat mujizatnya Nabi Shallallahu alaihi wasallam adapun kita sebagai ummatnya yang datang belakangan membenarkan apa yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam yaitu Al-Qur’an yang merupakan mujizat yang kekal yang dijaga oleh Allah Subhanahu wata’ala sampai hari sahabat Rasulullah kemudian berfikir jika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ingin berjumpa dengan ummatnya bagaimana ia mengenalinya, akhirnya sahabat bertanya”Bagaimana anda mengenali mereka nanti dihari kiamat ya Rasulullah.?”, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabdaأَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ“Menurut pendapat kalian, andai ada orang yang memiliki kuda yang di dahi dan ujung-ujung kakinya berwarna putih dan kuda itu berada di tengah-tengah kuda-kuda lainnya yang berwarna hitam legam, tidakkah orang itu dapat mengenali kudanya?”Para sahabat menjawab “Tentu saja orang itu dengan mudah mengenali kudanya“. Maka Rasulullah menimpali jawaban mereka dengan bersabdaفَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنَ الْوُضُوءِ، وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ“Sejatinya ummatku pada hari kiamat akan datang dalam kondisi wajah dan ujung-ujung tangan dan kakinya bersinar pertanda mereka berwudlu semasa hidupnya di dunia“.Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur’anيَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَPada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya kepada mereka dikatakan “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”. QS. Ali Imran 106.Siapakah yang diputihkan wajahnya oleh Allah Subhanahu wata’ala mereka itulah para pengikut Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kabar gembira bagi yang menjaga sholatnya dengan baik, yang menjaga thaharahnya dmana kunci sholat itu adalah bersuci begitupun dengn bekas sujud dalam sholat, kelak akan bercahaya sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengenali ummatnya pada hari kiamat dimana seluruh manusia dikumpulkan. Telahmenceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu'bah dari Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Dan dari Husain Al Mu'alim berkata, telah menceritakan kepada kami Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri". Jakarta - Ketika kita menjalin sebuah persaudaraan tentu ada hak-hak yang perlu dipelihara agar persaudaraan menjadi rukun. Untuk mewujudkannya, memiliki akhlak yang mulia jadi salah satu bersabda,"Hal yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak baik." HR. At-Tirmidzi dan Al Hakim dari hadits Abu Hurairah. Hadits persaudaraan sesama mukmin juga disabdakan oleh Rasulullah, "Orang mukmin itu akrab dan bersatu. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak bersatu dan tidak akrab." HR. Ahmad, Ath-Thabarani dan Al Hakim.Dikutip dalam buku 'Ensiklopedi Hak dan Kewajiban dalam Islam' oleh Syaikh Sa'ad Yusuf Mahmud Abu Aziz, hadits tentang persaudaraan sesama orang muslim juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya di sekitar 'Arasy terdapat mimbar-mimbar dari cahaya. Di atasnya ada kaum yang mengenakan pakaian dari cahaya dan wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para nabi dan syuhada. Mereka didengki oleh para nabi dan syuhada." Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling berkumpul karena Allah dan saling mengunjungi karena Allah." HR. An-Nasai di dalam As-Sunan Al-Kubra.Islam memberikan petunjuk kepada umatnya untuk menjaga persaudaraan. Buku '40 Hadits Sahih Pedoman Membangun Toleransi' oleh Kotimatul Husna, menjelaskan tentang hadits persaudaraan yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Yusuf, dari Malik, dari Ibnu Syihab dari Anas Ibnu Malik, Rasulullah Saw bersabda "Janganlah kalian saling membenci, mendengki, membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allaj yang bersaudara. Ingat haram bagi seseorang muslim tak bicara kepada saudaranya lebih dari tiga hari." HR. Al-Bukhari.Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 10إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَArtinya Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. lus/erd Pertama Yang dimaksud dalam hadits adalah tidak sempurnanya iman. Kedua: Wajib mencintai saudara kita sebagaimana mencintai saudara sendiri. Di sini dikatakan wajib karena ada kalimat penafian umum. Ketiga: Wajib meninggalkan hasad karena orang yang hasad pada saudaranya berarti tidak mencintai saudaranya seperti yang ia cintai pada dirinya sendiri.
Oleh Ust. Muhammad Lili Nur Aulia, Lc SEMBILAN hari sebelum wafatnya utusan Allah swt, Muhammad saw. Sepulang dari menunaikan haji wada’, turun firman Allah swt, “… wattaqu yauman… turja’uuna fiihi”. Sejak itu, tanda-tanda kesedihan sudah tampak dalam diri manusia mulia itu. “Aku ingin mengunjungi makam para syuhada uhud,” ujarnya. Beliaupun pergi ke lokasi makam, dan berdiri di tepi makam para sahabatnya. “Assalamualaikum ya syuhadaa Uhud. Kalian telah lebih dahulu, dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Dan aku insya Allah akan bretemu dengan kalian.” BACA JUGA Inilah Doa Rasulullah Agar Terhindar dari Utang Dalam perjalanan pulang, Rasul saw menangis. Para sahabat bertanya, tentang sebab tangisannya. Dengan nada lirih, Nabi Allah itu mengatakan, “Aku merindukan saudara-saudaraku..” “Bukankah kami ini adalah saudara-saudaramu, ya Rasulullah?” sergah para sahabat. Rasul menjawab, “Tidak. Kalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun saudara-saudaraku adalah orang yang datang setelahku, tapi mereka beriman kepadaku meskipun tidak melihatku.” Saudaraku, Apakah kita termasuk saudara-saudara Rasulullah saw yang dirindukannya itu? Seberapa besar juga kerinduan kita kepada sang Nabi yang merindukan kita itu? Apa bukti kerinduan kita? Apa buki kita adalah saudara-saudara yang dirindukan Rasulullah saw?Andai kita merasa sebagai saudara-saudara yang dirindukan Rasulullah saw. Ada banyak hal yang harus kita lakukan. Dan yang paling jelas adalah, mengikuti sunnah Rasulullah saw dalam berdakwah atau menyerukan nilai agama Allah ini ke banyak orang. Apakah kita termasuk orang-orang yang menyebarkan, menyampaikan, mendakwahkan, memperjuangkan agama Allah yang dibawa Nabi Muhammad saw? Saudaraku, BACA JUGA 3 Wasiat Rasulullah Mari mengambil pelajaran dari cerita dakwah seorang shalih yang pernah dimuat dalam Majalah Al Mujtama’ beberapa waktu lalu berikut ini. “Aku mengendarai mobil di samping sebuah pasar dan melihat seorang pemuda yang sedang memeluk seorang gadis. Aku ragu, apakah aku akan menasihatinya atau tidak? Tapi akhirnya aku putuskan untuk berhenti dan mendekati mereka. Melihat aku datang, anak gadis yang tadinya sedang asik itu terkejut, dan lari. Sementara sang pemuda, juga tampak takut dan mengira aku aparat pemerintah, atau polisi. “Assalamu’alaikum..” sapaku. Aku kemudian menjelaskan, bukan sebagai aparat atau polisi. “Aku hanya seorang saudara yang ingin sekali menyampaikan kebaikan untukmu dengan memberi nasihat,” jelasku. Aku lalu berbicara dengan suasana tenang, hingga tanpa terasa, mata pemuda itu berkaca-kaca lalu air mata matanya kulihat menitik. Singkat cerita, setelah itu, kami berkenalan dan bertukar nomor hp Dua pekan setelah itu, aku kebetulan saja memeriksa isi dompet dan mendapatkan nomor telepon si pemuda itu. “Aku ingin menghubuginya sekarang,” gumamku saat itu waktu subuh. Akupun menghubunginya, “Masih kenal aku?” Ia menjawab, “Bagaimana aku bisa melupakan suara ini, suara yang telah mengantarkanku pada hidayah dan membuatku bisa melihat cahaya dan jalan yang benar…” Kami lalu sepakat untuk berkujung ke rumahnya pada hari itu juga setelah shalat Asar. Tapi Allah mentakdirkan lain. Aku kedatangan tamu dan akhirnya terpaksa terlambat memenuhi janji sekitar satu jam. Aku ragu, apakah akan tetap berangkat atau tidak. Akhirnya kuputuskan aku harus menepati janji meskipun terlambat Aku pergi ke rumah pemuda itu dan mengetuk pintu rumahnya. Rupanya, orang tua pemuda itu yang membukakan pintu. “Fulan ada… “ tanyaku. Pertanyaan itu sepertinya membuat keheranan dan ia tidak menjawab apapun. Aku bertanya lagi, “Fulan ada…?” Orang tua itu lalu mengatakan, “Anak muda, ini bekas tanah pemakaman Fulan. Tadi pagi kami baru saja menguburkannya…” Aku sangat terkejut dan merasa tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku mencoba menerangkan dengan yakin, “Pak, pagi tadi baru saja saya berbicara dengannya melalui telepon di waktu subuh. Orang tua itu terdiam heran. Iapun sama-sama, nyaris tidak percaya dengan perkataanku. Ia lalu menjelaskan, “Fulan kemarin shalat zuhur dan duduk membaca Al Quran di masjid, setelah it ia pulang dan tidur sebentar di rumah. Ketika kami ingin membangunkannya di untuk makan siang, ternyata ia sudah meninggal.” Ia menerangkan lagi, “Anakku dahulunya adalah orang yang tidak malu melakukan kemaksatan. Tapi dua minggu terakhir keadaannya berubah. Ia menjadi orang yang membangunkan kami untuk shalat subuh di masjid, padahal ia sebelumnya tidak mau medirikan shalat dan banyak melakukan keburukan. Allah memberikannya hidayah…” Kami sama-sama terdiam. Tapi kemudian ayah Fulan bertanya, “Sejak kapan kamu mengenal anak saya?” tanyanya. Aku menjawab sambil merenung, “Dua minggu lalu.” Ayahnya langsung menyergah, “Jadi kamu yang menashati anak saya. Biar aku memelukmu, karena kamu telah menyelamatkan anakku dari neraka.. Saudaraku, Menurut penulisnya, ini adalah kisah nyata. Silahkan ambil pelajaran apapun yang bisa kita manfaatkan dari kisah ini. Dari kepedulian seorang Muslim yang merasa wajib menyampaikan nasihat karena Allah swt kepada si pemuda. Juga, tentang akhir hidup si pemuda yang bertolak belakang dengan rentang amalnya sebelum bertemu dengan sang pendakwah. Hingga peristiwa luar biasa yang terjadi antara si pemuda di waktu subuh, dengan pendakwah… Saudaraku, Apakah Rasulullah saw pernah merindukan kita? Apakah kita adalah saudara-saudara Rasulullah saw yang beriman kepadanya, meski pun kita tidak pernah melihat dan belum pernah bertemu dengannya. Apa bukti kita sebagai kelompok orang yang dirindukan Rasulullah saw? Bertanyalah pada diri sendiri, apa yang sudah kita berikan pada agama ini? Apakah kita sudah memberi sentuhan dakwah kepada orang-orang yang ada di sekeliling kita? Mudah-mudahan, kita termasuk yang disebut Rasulullah saw sebagai saudara-saudara yang dirindukannya… []
Kamusemua adalah sahabat-sahabatku, tetapi bukan saudara-saudaraku." Suara Baginda Rasulullah bernada rendah. "Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah," kata seorang sahabat yang lain. Rasulullah Masya Allah, kerinduan Nabi sebagaimana diceritakan dalam riwayat di atas benar-benar mengguncang hati kita terutama bagi mereka yang beriman kepada beliau. Meski menjadi pemimpin umat manusia dan pemilik kemuliaan, beliau tidak segan-segan menyatakan kerinduannya kepada umatnya.
Kawasan Raudhah dan koridor di depan Makam Rasulullah SAW kian padat menyusul makin banyaknya jamaah haji yang tiba di Madinah, Selasa 24/7. Para jamaah berebut mengunjungi tempat yang disebut penuh berkah tersebut. Di antara keutamaan umat Islam adalah keyakinan kuat tentang nabi dan rasul mereka, Muhammad SAW, meski tidak pernah berjumpa dan belajar langsung kepada beliau. Hal inilah yang menjadikan salah satu poin, mengapa Rasulullah SAW sangat merindukan dan ingin segera bertemu kita, umatnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah RA. “Salam atas kalian wahai penghuni kuburan tempat orang-orang beriman. Aku insya Allah akan menyusul kalian. Aku ingin sekali berjumpa saudara-saudaraku.’ Mereka para sahabat berkata, Wahai Rasulullah, bukankah kami saudaramu?’ Beliau bersabda, Kalau kalian adalah para sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka orang-orang beriman yang belum ada sekarang ini dan aku akan mendahului mereka di telaga.’ Mereka berkata, Wahai Rasulullah, bagaimana engkau mengenali orang-orang beriman yang datang setelah engkau dari kalangan umatmu?’ Beliau bersabda, Bukankah jika seseorang punya kuda yang sebagian kecil bulunya putih akan mengenali kudanya di tengah kuda-kuda yang hitam legam?’ Mereka menjawab, Ya’ Beliau berkata, Sesungguhnya mereka akan datang pada hari kiamat dengan cahaya putih karena wudhu. Dan aku akan menunggu mereka di telaga.” Kerinduan Rasulullah terhadap kita, umatnya, secara tegas juga disampaikan oleh Imam al-Qusyairi dalam kitabnya ar-Risalah. Dia mengutip riwayat dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW pernah bersabda.”Kapan aku akan bertemu para kekasihku?” Para sahabat bertanya, ”Bukankah kami adalah para kekasihmu?” Rasulullah menjawab,”Kalian memang sahabatku, para kekasihku adalah mereka yang tidak pernah melihatku, tetapi mereka percaya kepadaku. Dan kerinduanku kepada mereka lebih besar.” Akankah kita termasuk mereka yang dirindukan Rasulullah? BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
OrangYang Sudah Wafat Tahu Apa yang Dilakukan Saudara dan Keluarganya: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menceritakan tentang dialog antar arwah, salah satu dialognya adalah menceritakan kabar Si Fulan di dunia: إِنَّ فُلَانًا قَدْ فَارَقَ الدُّنْيَا Si Fulan telah meninggal dunia (HR. Al Bazar no. 9760.
Bagaimana cara kita mencintai saudara kita? Di sini dapat kita pelajari dari Hadits Arbain karya Imam Nawawi, no. 13. عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pembantu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman dengan iman sempurna sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” HR. Bukhari dan Muslim [HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45] Penjelasan Hadits Hadits di atas semakna dengan hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ “Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan masuk ke dalam surga, hendaknya ketika ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah, dan hendaknya ia berperilaku kepada orang lain sebagaimana ia senang diperlakukan oleh orang lain.” HR. Muslim, no. 1844 Mencintai bisa jadi berkaitan dengan urusan diin agama, bisa jadi berkaitan dengan urusan dunia. Rinciannya sebagai berikut. 1- Sangat suka jika dirinya mendapatkan kenikmatan dalam hal agama, maka wajib baginya mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya mendapatkan hal itu. Jika kecintaan seperti itu tidak ada, maka imannya berarti dinafikan sebagaimana disebutkan dalam hadits. Jika seseorang suka melakukan perkara wajib ataukah sunnah, maka ia suka saudaranya pun bisa melakukan semisal itu. Begitu pula dalam hal meninggalkan yang haram. Jika ia suka dirinya meninggalkan yang haram, maka ia suka pada saudaranya demikian. Jika ia tidak menyukai saudaranya seperti itu, maka ternafikan kesempurnaan iman yang wajib. Termasuk dalam hal pertama ini adalah suka saudaranya mendapatkan hidayah, memahami akidah, dijauhkan dari kebid’ahan, seperti itu dihukumi wajib karena ia suka jika ia sendiri mendapatkannya. 2- Sangat suka jika dirinya memperoleh dunia, maka ia suka saudaranya mendapatkan hal itu pula. Namun untuk kecintaan kedua ini dihukumi sunnah. Misalnya, suka jika saudaranya diberi keluasan rezeki sebagaimana ia pun suka dirinya demikian, maka dihukumi sunnah. Begitu juga suka saudaranya mendapatkan harta, kedudukan, dan kenikmatan dunia lainnya, hal seperti ini dihukumi sunnah. Cinta pada Muslim Sesuai Kadar Iman Kita diperintahkan untuk mencintai sesama muslim. Allah Ta’ala berfirman, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. At-Taubah 71. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata mengenai hadits di atas, “Di antara tanda iman yang wajib adalah seseorang mencintai saudaranya yang beriman lebih sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Ia pun tidak ingin sesuatu ada pada saudaranya sebagaimana ia tidak suka hal itu ada padanya. Jika cinta semacam ini lepas, maka berkuranglah imannya.” Jaami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 1305. Sikap yang dilakukan oleh seorang muslim ketika melihat saudaranya yang melakukan kesalahan adalah menasihatinya. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Jika seseorang melihat pada saudaranya kekurangan dalam agama, maka ia berusaha untuk menasihatinya membuat saudaranya jadi baik.” Jaami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 1308. Adapun jika muslim tersebut pelaku dosa besar seperti pemakan riba rentenir dan suka mengghibah menggunjing, maka orang tersebut dicintai sekadar dengan ketaatan yang ada padanya dan dibenci karena maksiat yang ia terus lakukan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika ada dalam diri seseorang kebaikan dan kejelekan, dosa dan ketaatan, maksiat, sunnah dan bid’ah, maka kecintaan padanya tergantung pada kebaikan yang ia miliki. Ia pantas untuk dibenci karena kejelekan yang ada padanya. Bisa jadi ada dalam diri seseorang kemuliaan dan kehinaan, bersatu di dalamnya seperti itu. Contohnya, ada pencuri yang miskin. Ia berhak dihukumi potong tangan. Di samping itu ia juga berhak mendapat harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhannya.” Majmu’ah Al-Fatawa, 28209. Ibnu Taimiyah melanjutkan, “Demikianlah prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Prinsip diselisihi oleh Khawarij dan Mu’tazilah serta yang sepaham dengan mereka. Mereka menjadi hanya berhak dapat pahala saja. Atau jika tidak yah mendapatkan siksa saja. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa Allah menyiksa orang yang berbuat dosa besar yang pantas untuk disiksa. Mereka pun dapat keluar dari neraka dengan syafa’at sebagai karunia dari Allah. Sebagaimana hal ini didukung oleh hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” Idem. Faedah Hadits Pertama Yang dimaksud dalam hadits adalah tidak sempurnanya iman. Kedua Wajib mencintai saudara kita sebagaimana mencintai saudara sendiri. Di sini dikatakan wajib karena ada kalimat penafian umum. Ketiga Wajib meninggalkan hasad karena orang yang hasad pada saudaranya berarti tidak mencintai saudaranya seperti yang ia cintai pada dirinya sendiri. Bahkan orang yang hasad itu berangan-angan nikmat orang lain itu hilang. Sedangkan pengertian hasad menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu, الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ “Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.” Majmu’ah Al-Fatawa, 10111. Tingkatan Hasad 1- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang meski tidak berpindah padanya. Orang yang hasad lebih punya keinginan besar nikmat orang lain itu hilang, bukan bermaksud nikmat tersebut berpindah padanya. 2- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang lalu berkeinginan nikmat tersebut berpindah padanya. Misalnya, ada wanita cantik yang sudah menjadi istri orang lain, ia punya hasad seandainya suaminya mati atau ia ditalak, lalu ingin menikahinya. Atau bisa jadi pula ada yang punya kekuasaan atau pemerintahan yang besar, ia sangat berharap seandainya raja atau penguasa tersebut mati saja biar kekuasaan tersebut berpindah padanya. Tingkatan hasad kedua ini sama haramnya namun lebih ringan dari yang pertama. 3- Tidak punya maksud pada nikmat orang lain, namun ia ingin orang lain tetap dalam keadaannya yang miskin dan bodoh. Hasad seperti ini membuat seseorang akan mudah merendahkan dan meremehkan orang lain. 4- Tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, namun ia ingin orang lain tetap sama dengannya. Jika keadaan orang lain lebih dari dirinya, barulah ia hasad dengan menginginkan nikmat orang lain hilang sehingga tetap sama dengannya. Yang tercela adalah keadaan kedua ketika menginginkan nikmat saudaranya itu hilang. 5- Menginginkan sama dengan orang lain tanpa menginginkan nikmat orang lain hilang. Inilah yang disebut dengan ghibthoh sebagaimana terdapat dalam hadits berikut. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا “Tidak boleh hasad ghibtoh kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu Al Qur’an dan As Sunnah, ia menunaikan dan mengajarkannya.” HR. Bukhari, no. 73 dan Muslim, no. 816 Inilah maksud berlomba-lomba dalam kebaikan seperti dalam ayat, وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ “Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” QS. Al-Muthaffifin 26 Semoga bermanfaat. Allahumma inna nas-aluka ilman naafi’a. Referensi Fiqh Al-Hasad. Cetakan pertama, tahun 1415 H. Syaikh Musthafa Al-Adawi. Penerbit Darus Sunnah. Jaami’ Al-Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penerbit Darul Wafa’ dan Ibnu Hazm. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Dar Tsuraya. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit Darul Ashimah. — Oleh Muhammad Abduh Tuasikal Artikel

Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah," kata seorang sahabat yang lain. Rasulullah menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian Nabi bersabda: "Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku dan mereka mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka.

Hadis 8 Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari عنْ أبي أَيُّوبَ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ، أنَّ رسولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ لَا يَحِلُّ لمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ مُتَّفَقٌ عليهِ Dari Abū Ayyub radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ berkata, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr memboikot saudaranya lebih dari 3 malam yaitu 3 hari. Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik diantara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.”[1] Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ . Sungguh syari’at Islam adalah syariat yang indah, syariat yang menyuruh umatnya untuk mempererat tali persatuan. Allah ﷻ telah berfirman إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” QS. Al-Hujurāt 10 Banyak sekali hadis-hadis yang menganjurkan seorang mukmin untuk menunaikan kewajibannya terhadap saudaranya. Di antara kewajiban seorang mukmin terhadap saudaranya adalah sebagai berikut. Menjawab salam apabila saudaranya memberikan salam. Memenuhi undangan saudaranya. Menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Menghadiri, menyalatkan, dan mengantarkan ke pekuburan jika saudaranya meninggal. Memberikan nasihat kepada saudaranya yang meminta nasihat. Mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan itu untuk dirinya sendiri. Selain perkara-perkara yang diperintahkan untuk menjaga keutuhan tali persaudaraan, syariat Islam juga melarang perkara-perkara yang dapat merusak keutuhan tali persatuan tersebut. Misalnya, Rasulullah ﷺ bersabda, وَلاَ يَبِعِ بعضكم عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يخطب الرجل على خطبة أَخِيهِ “Janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya. Janganlah seseorang melamar di atas lamaran saudaranya.” [2] وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا “Janganlah kalian saling hasad iri, janganlah kalian saling membenci.” [3] Dan masih banyak lagi larangan-larangan Rasulullah ﷺ yang tujuannya agar persatuan di antara kaum muslimin dapat terjaga dengan baik. Bahkan dalam Al-Qurān Allah berfirman, وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا “Janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan di antara kalian dan janganlah saling mengghībah diantara kalian.” QS. Al-Hujurāt 12 Dan juga, لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ “Janganlah sebuah kaum menghina kaum yang lain.” QS. Al-Hujurāt 11 Dalil-dalil ini semua menunjukkan pentingnya untuk mempererat tali persatuan, sampai-sampai Rasulullah ﷺ bersabda, لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman kecuali sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian kepada suatu perkara yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Maka tebarkanlah salam di antara kalian.”[4] Berdasarkan uraian ringkas tadi, diketahui bahwa praktek hajr memboikot seorang muslim bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, sebagai manusia kadang-kadang kita dikuasai hawa nafsu, terkadang bermasalah dengan saudaranya, maka dia pun marah kepada saudaranya terutama pada perkara-perkara dunia, entah dia yang salah atau saudaranya yang salah. Dalam kondisi seperti itu, syariat mengizinkan seorang muslim untuk mendiamkan/meng-hajr saudaranya, tidak ingin bertemu dengan saudaranya itu atau memboikot saudaranya itu. Namun waktu yang diizinkan hanya 3 hari saja. Hal ini menunjukkan bahwa syari’at memperhatikan kondisi kejiwaan manusia yang apabila marah sulit untuk reda, memaafkan, dan melupakan begitu saja. Diperlukan waktu/proses agar segala bentuk kemarahan itu reda dan hilang sehingga kembali ke keadaan normal, bisa menerima, dan memaafkan kesalahan saudaranya. Oleh karena itu syari’at memberikan kesempatan baginya untuk melampiaskan atau untuk membiarkan jiwanya emosi tetapi hanya selama 3 hari saja. Lebih dari itu tidak boleh karena dia punya kewajiban menyatukan tali persaudaraan dengan saudaranya sesama muslim. Maka dari itu Rasulullah ﷺ mengharamkan seseorang meng-hajr saudaranya lebih dari 3 hari. Beliau ﷺ bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr memboikot saudaranya lebih daripada 3 hari.” Dengan demikian, apabila hajr dilakukan lebih dari 3 hari maka hukumnya haram. Sehingga setelah 3 hari, dua orang muslim yang tadinya saling mendiamkan harus sudah saling memaafkan dan bergaul seperti biasa lagi. Bahkan diberikan pujian, bagi siapa yang memulai untuk menyapa saudaranya untuk menghentikan hajr tersebut. Disebutkan oleh Rasulullah ﷺ , “Yang terbaik di antara keduanya orang yang saling meng-hajr adalah yang memulai dengan salam.” Kenapa hal ini dipuji oleh Rasulullah? Karena orang yang memecahkan kebuntuan hubungan dengan memulai memberi salam dan menyapa berarti telah mengalahkan emosi dan egonya keangkuhan jiwanya. Bisa jadi hal seperti itu ia lakukan setelah terjadi pergumulan yang dahsyat di dalam hatinya, seperti, “Saya yang lebih tua, dia yang masih muda,” “Saya adalah Pamannya, dia yang seharusnya minta maaf ke saya.” Kebanyakan orang akan menampakkan egonya ketika terjadi perselisihan. Bahkan pada saat seperti itu setan pasti hadir untuk memanas-manasi keadaan. Karenanya, kebanyakan orang akan mengatakan “Saya yang benar, dia yang salah.” Maka sungguh terpuji orang yang berlaku sebaliknya, memulai memberi salam dan meninggalkan egonya. Apakah seseorang akan mengikuti hawa nafsu dan keangkuhan jiwanya ataukah dia mendahulukan untuk mendapatkan khairiyyah menjadi yang terbaik di sisi Allah ﷻ ? Jika dia ingin menjadi yang terbaik di sisi Allah ﷻ , di antara dia dengan saudaranya, maka hendaknya dialah yang memulai memberi salam kepada saudaranya. Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ . Para ulama berikhtilaf tentang bagaimana menyelesaikan hajr. Jumhur mayoritas ulama mengatakan, “Jika mereka bertemu dan sudah saling memberi salam, maka hajr dianggap telah berakhir.” Dengan demikian mereka sudah keluar dari yang diharamkan Rasulullah ﷺ . Inilah pendapat kebanyakan ulama, karena Rasulullah ﷺ mengatakan, “Yang terbaik adalah yang memulai dengan salam.” Namun sebagian ulama mengatakan, “Tidak cukup hanya dengan memberikan salam. Dia hanya bisa keluar dari perkara yang haram kecuali jika kembali ke kondisi seperti sediakala.” Artinya, percuma kalau dia memberi salam tetapi wajahnya muram atau hatinya jengkel. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, “Tidak, hajr tidak berakhir, kecuali setelah dia kembali seperti sedia kala”; yaitu senyum dengan hati yang bersih dan tidak ada dendam dan kemarahan. Allahu a’lam bish-shawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama karena kalau harus kembali seperti sediakala ini bukan perkara yang ringan, bahkan mungkin sangat susah. Seperti kata sebagian orang, “Kalau hati sudah terlanjur terluka maka sulit untuk kembali lagi. Seperti kaca yang sudah terlanjur pecah maka sulit untuk disambung kembali.” Oleh karenanya, Wallahu a’lam bish-shawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama, yaitu cukup jika dia memberi salam, maka hajr tersebut berakhir dan dia telah keluar dari yang diharamkan Rasulullah ﷺ . Ingatlah firman Allah ﷻ , وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ “Tidak sama antara kebaikan dan keburukan, maka balaslah dengan cara yang terbaik. Maka orang yang antara engkau dengan dia ada permusuhan, tiba-tiba dia menjadi teman yang dekat. Namun akhlak seperti ini membalas keburukan dengan kebaikan tidaklah dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang bersabar dan tidak diberikan kecuali kepada orang yang mendapatkan keuntungan yang besar.” QS. Fushilat 34-35 Ini merupakan pujian yang istimewa dari Allah bagi orang yang sanggup mengalahkan hawa nafsunya untuk memulai salam meskipun dia yang salah atau saudaranya yang salah. Hal demikian tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Maka orang yang bisa berbuat demikian adalah orang yang telah mendapatkan keberuntungan yang besar sebagaimana firman Allah ﷻ di atas. Semoga Allah ﷻ senantiasa menyatukan hati-hati seluruh kaum muslimin. Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ , Rasulullah ﷺ melarang seseorang untuk meng-hajr saudaranya lebih dari 3 hari. Namun, para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah apabila bahwa hajr tersebut sebabnya berkaitan dengan perkara duniawi. Adapun meng-hajr orang lain karena perkara agama maka ini boleh lebih dari 3 hari. Sebagaimana meng-hajr/memboikot pelaku bidah atau pelaku maksiat, maka boleh lebih dari 3 hari. Memboikot pelaku maksiat atau pelaku bidah adalah dengan mempertimbangkan 2 kemaslahatan, yaitu kemaslahatan yang berkaitan dengan pelaku bidah itu sendiri, dan kemaslahatan yang berkaitan dengan pihak yang meng-hajr. Pertama, kemaslahatan yang berkaitan dengan pelaku bidah atau pelaku maksiat, maka kita meng-hajr dia sampai dia bertobat kepada Allah ﷻ . Dalil akan simpulan ini adalah kisah Ka’ab bin Mālik RA tatkala tidak ikut serta dalam perang Tābuk tanpa alasan yang syar’i. Maka, beliau pun di-hajr oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya sampai sekitar 50 hari. Sehingga Allah turunkan ayat yang menjelaskan bahwasanya Allah menerima taubat Ka’ab bin Mālik RA, baru kemudian Rasulullah ﷺ menghentikan praktek hajr-nya. Hajr dialami Ka’ab bin Mālik RA ini dijadikan dalil oleh para ulama yang berbicara tentang masalah hajr. Mereka semuanya berdalil dengan kisah ini. Hal ini menunjukkan bahwa masalah meng-hajr pelaku maksiat sama dengan masalah meng-hajr pelaku bidah dengan tetap melihat kepada kemaslahatan dan kemudaratan. Para pembaca yang dirahmati oleh Allahﷻ , mengapa kita mengatakan bahwa praktek hajr memboikot pelaku bidah atau pelaku maksiat harus melihat maslahat dan mudarat? Karena, masalah memboikot pelaku bidah atau pelaku maksiat adalah bagian dari pengamalan ajaran al-amr bil ma’ruf wa nahyi anil munkar amar makruf nahi mungkar. Para ulama telah sepakat bahwa pijakan amar makruf nahi mungkar adalah di atas kemaslahatan. Apabila penerapan amar makruf nahi mungkar diasumsikan akan memberikan kemaslahatan, maka dilakukan. Sebaliknya, jika penerapan amar makruf nahi mungkar menimbulkan kemudaratan yang lebih buruk daripada kemungkaran yang sudah ada, maka hendaknya ditinggalkan. Oleh karenanya, masalah meng-hajr pelaku bidah atau pelaku maksiat pada zaman sekarang tidaklah mudah untuk dikerjakan. Karenanya, sesuai dengan konteks ini, Syekh Albani rahimahullāh pernah berkata, الهَجْرُ لاَ يَحْسُنُ أَنْ يُطَبَّقَ فِي هَذَا الْعَصْرِ لِأَنَّ أَهْلَ الْبِدَعِ هُمُ الْغَالِبُوْنَ “Meng-hajr pelaku bidah tidak layak untuk diterapkan pada zaman sekarang ini karena mereka ahlul bidah yang lebih mendominasi.” Berbeda halnya dengan zaman Imam Ahmad bin Hanbal. Di zaman A’imatussalaf para imam generasi salaf rahimahumullah dahulu, dimana ahlus sunah banyak dan ahlul bidah-nya sedikit. Sehingga kalau ahlus sunah memboikot ahlul bidah, maka ahlul bidah akan terpuruk dan akhirnya melepaskan bidah yang dia lakukan karena dia akan merasa terjepit sebab diboikot oleh kebanyakan orang. Demikian juga para pelaku maksiat. Para pelaku maksiat dulu jika diboikot mereka berhenti dari maksiatnya. Namun sekarang kondisinya berbeda. Sekarang pelaku maksiat dan pelaku bidah jumlahnya banyak. Maka jika seseorang memaksa untuk memboikot pelaku bidah justru dia yang terboikot, sehingga tidak ada maslahat yang ia wujudkan. Yang lebih tepat untuk dilakukan sekarang ini, wallahu a’lam, seseorang perlu mendekati pelaku maksiat untuk mendakwahinya, mengambil tangannya, dan berbicara dengannya agar ia mau meninggalkan kemaksiatannya. Demikian juga terhadap ahli bidah. Seorang yang merasa mampu hendaknya mendatangi ahli bidah tersebut. Terutama ahlul bidah yang awam bukan ahlul bidah yang penyeru. Kemudian dia dakwahi, diajak ngobrol, dan diberi masukan. Sehingga diperoleh manfaat bagi pelaku bidah tersebut. Barangkali kita perlu juga berkaca dengan keadaan kita sendiri. Dahulu sebelum kita mengenal manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, mungkin sebagian dari kita juga terpuruk dalam sebagian bidah. Bagaimana kita mendapatkan hidayah? Ternyata kita mendapat hidayah bukan karena diboikot oleh kalangan ahlus-sunah, melainkan karena izin dari Allah ﷻ dengan perantaraan seorang pemuda ahlus-sunah yang mendekati kita kemudian mengajak untuk mengobrol, memberikan masukan, dan mendakwahi kita dengan cara yang baik. Maka dengan izin Allah kita kemudian sedikit demi sedikit mampu meninggalkan berbagai bentuk bidah dan maksiat yang mungkin pada saat itu kita anggap sebagai hal yang lumrah. Karenanya, meng-hajr pelaku maksiat dan pelaku bidah, terutama di zaman kita sekarang ini, harus benar-benar memperhatikan maslahat dan mudaratnya. Jika meng-hajr orang yang tidak salat misalnya, hanya akan semakin menjauhkannya dari salat, maka lebih baik kita memilih cara lain selain meng-hajr-nya. Barangkali dengan pendekatan lain akan menyadarkannya dan membuatnya kembali melaksanakan salat. Jadi kita tidak menerapkan hajr, meskipun sebenarnya disyariatkan untuk meng-hajr orang yang tidak salat. Kedua, praktek hajr juga memperhatikan kemaslahatan pihak yang men Orang yang akan meng-hajr hendaknya memperhatikan kondisi dirinya. Jika ia beberharapadapan dengan seorang penyeru bidah yang memiliki pengetahuan seputar dalil atau memiliki syubhat yang membahayakan, maka hendaknya dia menjauh jika dia khawatir syubhatnya itu akan mempengaruhi dirinya. Hendaknya ia menghindari orang tersebut, jangan mendengarkan ceramahnya dan jangan menghadiri kajiannya. Namun jika pelaku bidah itu hanya pelaku bidah yang biasa, dari kalangan awam, tidak punya syubhat dan tidak mengerti, maka orang seperti ini lebih utama untuk didekati, diajak mengobrol dan dinasihati. Mudah-mudahan dengan cara demikian, ia mau kembali ke jalan yang lurus. Kesimpulannya, meng-hajr ahli bidah atau pelaku maksiat disyariatkan meskipun lebih dari 3 hari, karena tujuannya adalah memberi pelajaran kepada pelaku bidah tersebut atau untuk menyelamatkan diri kita agar tidak terjerumus ke dalam bidahnya. Namun terakhir yang saya ingatkan, Ikhwan dan Akhwat pembaca yang dirahmati Allah, banyak orang mempraktikkan hajr terhadap saudaranya, sebenarnya karena tendensi duniawi. Namun karena mereka memperpanjang praktek hajr tersebut, maka mereka membumbui seakan-akan mereka meng-hajr karena syariat, padahal hakikatnya hanya karena perkara dunia. Oleh karenanya, orang yang meng-hajr dengan menganggap ini adalah perkara akhirat padahal kenyataannya karena perkara dunia, ini adalah perkara yang berbahaya. Para pembaca, Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah ﷻ , Dikatakan bahwasanya bisa jadi seorang yang meng-hajr/memboikot/tidak menyapa saudaranya karena perkara dunia. Terkadang setan datang lantas menghiasi seakan-akan yang dia lakukan adalah perkara syariat, padahal bukan sama sekali. Akan tetapi karena hawa nafsunya, bukan karena ingin mendidik orang yang tidak dia sapa tersebut, atau karena ingin menyelamatkan dirinya, tapi karena hanya ingin memuaskan hawa nafsu. Dan saya ingatkan sebagaimana juga diingatkan oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, betapa banyak orang yang meng-hajr saudaranya karena perkara dunia, namun dia membawakannya dalam “casing” seakan-akan dia meng-hajr karena perkara akhirat. Maka hajr seperti ini hukumnya haram. Telah disebutkan di depan bahwa meng-hajr saudaranya lebih dari 3 hari hukumnya adalah haram. Bahkan sebagian ulama memasukkannya ke dalam dosa besar. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan akan bahayanya perkara ini adalah sebagai berikut. Pertama, Hadis dari Abū Hurairah radhiallahu anhuو أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمُ الاثْنَيْنِ وَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لا يُشْرِكُ بِالله شَيْئًا إِلا رَجُلا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا Bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda “Telah dibukakan pintu-pintu surga setiap hari Senin dan Kamis. Maka seluruh hamba yang tidak berbuat syirik kepada Allah sama sekali akan diberi ampunan oleh Allah, kecuali seseorang yang punya permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan kepada para malaikat, Tangguhkanlah dari ampunan Allah dua orang ini hingga keduanya berdamai’.”[5] Hadis ini merupakan kabar gembira sekaligus menunjukkan keutamaan orang-orang yang bertauhid tidak berbuat syirik kepada Allah ﷻ . Bergembiralah bagi para pembaca yang selalu berusaha menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, meskipun banyak maupun sedikit. Untuk mereka yang berusaha selalu memurnikan tauhid kepada Allah, Allah akan memberikan ganjaran pada setiap hari Senin dan Kamis, yaitu dibukakan pintu-pintu surga dan diberi ampunan. Tetapi hadis ini juga menjelaskan bahwa ternyata ada orang-orang yang bertauhid yang rugi pada hari Senin dan Kamis karena tidak mendapat ampunan dari Allah. Mereka bertauhid, namun mereka dalam keadaan bermusuhan dengan saudaranya. Oleh karenanya, Rasulullah ﷺ mengatakan “Kecuali seorang yang antara dia dengan saudaranya ada permusuhan,” maka dikatakan, “Tangguhkanlah ampunan pada kedua orang ini sampai mereka berdua berdamai.” Ini merupakan kerugian yang sangat besar bagi orang yang bertengkar dengan saudaranya. Akibat bermusuhan kepada saudaranya, ia terhalangi dari ampunan yang Allah anugerahkan setiap hari Senin dan Kamis. Kedua, Hadis shahīh yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud dan dishahīhkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullāh. وَعَن أَبِي خِرَاش السُّلَمِي رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ هَجَرَ أَخَاهُ سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ Dari Abū Khirāsh As-Sulamiy RA, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang memboikot/meng-hajr saudaranya selama setahun, maka seakan-akan dia telah menumpahkan darah saudaranya itu.”[6] Hadis ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi pelaku hajr yang melampaui batas. Disebutkan bahwa setahun meng-hajr saudaranya adalah seakan-akan telah membunuh saudaranya itu. Betapa beratnya ancaman ini karena kita tahu bahwa membunuh adalah dosa yang sangat besar. Karena itu hadis Ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa menghajr saudara sampai satu tahun termasuk dosa besar. Bagaimana tidak, bukankah seharusnya dua saudara itu saling mencintai, saling menyayangi, saling menasihati, saling menginginkan kebaikan kepada yang lain, saling mengunjungi, dan sebagainya. Tetapi semua itu tidak dilakukan karena adanya hajr yang melampaui batas. Terkadang hajr dikesankan seakan-akan didasarkan pada perkara-perkara syariat, sehingga dengan itu seseorang dapat meng-hajr saudaranya untuk waktu yang panjang, lebih dari 3 hari. Namun seringkali hal itu hanyalah pengelabuan setan saja. Hajr yang dilakukan tidak lain adalah karena egonya, emosinya, hasadnya, dan sebagainya. Maka hal seperti itu hukumnya seperti “menumpahkan darah”, yaitu dosa besar. Wallahu a’lam. Ketiga, Hadis yang juga dihasankan oleh Syekh Al-Albani rahimahullāh. عَن ابنِ عَبَاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنهُمَا قالقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا تُرْفَعُ لهم صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ Dari Ibnu Abbas radhiyallahu Ta’āla anhumā, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, Ada tiga golongan orang yang salat, di mana salat mereka tidak akan terangkat di atas kepala mereka meskipun hanya sejengkal, yaitu seorang yang menjadi imam salat bagi suatu kaum padahal kaumnya itu benci kepadanya, seorang wanita yang dia tidur sementara suaminya dalam keadaan marah kepadanya, dan dua orang saudara yang saling bermusuhan saling meng-hajr.[7] Hadis ini juga menunjukkan kerugian bagi orang yang meng-hajr. Yaitu hajr yang dilakukan bukan karena alasan syar’i, tetapi hajr karena dorongan hawa nafsu, lebih dari tiga hari bermusuhan, karena tidak ingin dirinya dibantah atau karena hobinya membantah, dan lain-lain meskipun ia mengesankan bahwa hajr yang ia lakukan adalah karena perkara agama. Maka dari itu, seluruh hajr dan boikot yang tidak syar’i menyebabkan seseorang tidak diterima salatnya, sebagaimana hadis yang dihasankan oleh Syekh Al-Albani rahimahullāh di atas. Oleh karena itu, Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ , hendaknya seseorang mengingat akan hari akhirat. Hendaknya pula setiap mukmin berlapang dada menghadapi berbagai permasalahan yang timbul dalam pergaulannya sehari-hari. Perlu disadari bahwa di dunia ini memang tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Jika seseorang marah kepada saudaranya maka silakan marah. Boleh saja ia jengkel dan cuek kepada saudaranya, tetapi syariat yang agung ini hanya membatasi sampai waktu 3 hari saja. Tidak boleh lebih. Setelah lewat dari waktu yang ditentukan itu, hendaknya seorang muslim memaafkan saudaranya. Akan sangat afdal jika ia yang memulai memberi salam kepada saudaranya yang didiamkan itu. Ingatlah bahwa kehidupan akhirat jauh lebih indah. Tidak mungkin seseorang akan mendapatkan kenikmatan akhirat kecuali dengan bersabar terhadap problematika kehidupan di dunia ini. Footnote __________ [1] HR. Bukhari no. 6077 dan Muslim no. 2560 [2] HR. Muslim no. 1412, dari Ibnu Umar [3] HR. Muslim no. 2564 [4] HR. Muslim no. 54 [5] HR. Muslim no. 2565 [6] HR. Ahmad no. 17935, Abu Daud no. 4915 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan Abi Dawud no. 4915 [7] HR. Ibnu Majah I/311 no. 971, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Misyakatul Mashabih no. 1128 4OUV.
  • 8ljlj4vl2k.pages.dev/554
  • 8ljlj4vl2k.pages.dev/259
  • 8ljlj4vl2k.pages.dev/299
  • 8ljlj4vl2k.pages.dev/379
  • 8ljlj4vl2k.pages.dev/185
  • 8ljlj4vl2k.pages.dev/569
  • 8ljlj4vl2k.pages.dev/239
  • 8ljlj4vl2k.pages.dev/284
  • hadits rasulullah merindukan saudaranya